Senin, 18 Oktober 2010

Makanan Halal dan Baik, yang bagaimanakah?

Sekedar mengingat saat puasa, kita diharamkan pada siang hari makan makanan yang halal sekalipun. Di bulan-bulan yang lain, kita diperintahkan di dalam al Qur’an untuk memakan makanan yang halal dan baik.
Sebagaimana kita tahu, bahwa Allah SWT mengajarkan kita untuk makan makanan yang halal dan baik, sebagaimana kutipan berikut:
2:168. Wahai manusia, makanlah apa yang di bumi, yang halal dan baik, dan janganlah mengikuti langkah-langkah syaitan; ia adalah musuh yang nyata bagi kamu.
5:88. Makanlah daripada apa yang Allah merezekikan kamu, yang halal dan baik; dan takutilah Allah, yang kepada-Nya kamu orang-orang mukmin.
8:69. Makanlah daripada apa yang kamu ambil sebagai rampasan perang, yang halal, yang baik; dan kamu takutilah Allah; sesungguhnya Allah Pengampun, Pengasih.
16:114. Maka makanlah daripada apa yang Allah merezekikan kamu, yang halal, yang baik; dan berterimakasihlah atas rahmat Allah, jika Dia kamu sembah.
Makanan halal menurut kami bisa dibagi 2 macam, yaitu menurut Fisik(dzat)nya dan menurut sebab musababnya. Demikian juga makanan yang baik: baik menurut dzat-nya dan baik menurut asal-usulnya. Tulisan ini akan dibagi menjadi 4 bagian menurut klasifikasi tersebut, Insya Allah.
1. Halal menurut Fisik
Memang benar, makanan halal adalah yang NOT haram. Haram karena fisik-nya dalil-nya sangat jelas, di Quran, hadits2 Nabi SAW, dan literatur-literatur fikh. Contohnya:
[2:173] Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan masih ada lagi. Inilah yang kita pelajari dari pelajaran agama SD sampai SMA.
Ada satu kriteria lagi, yaitu subhat. Subhat adalah hal-hal yang meragukan, tidak jelas halal atau haram. Contoh: bekicot, dll. Nabi S.A.W. bersabda :
” Sesungguhnya yang HALAL itu jelas dan yang HARAM itu jelas. Diantara keduanya ada perkara yang SYUBHAT yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barang siapa yang menjaga dari yang syubhat, berarti dia telah menjaga din dan kehormatannya, dan barang siapa yang terjerumus dalam syubhat berarti dia terjerumus kepada yang haram. Sebagaimana seorang pengembala yang mengembala di sekitar larangan, maka lambat lau akan masuk kedalamnya. Ketahuilah bahwa setiap pemerintah memiliki daerah larangan. Adapun daerah larangan Allah adalah apa yang diharamkan- Nya.” (HR.Bukhari & Muslim)
Kalau sebelumnya hanya ada dua kriteria, logika-nya digital(haram-halal, 0 – 1), sekarang ada 3 (tiga) kriteria, haram-subhat-halal (0 – 0.5 – 1). Logika-nya pun skr pakai Fuzzy.
Jelas bahwa kita disuruh menjauhi yang subhat. Berarti halal di sini adalah yang NOT haram, AND NOT subhat.
Halal menurut fisik pun sebenarnya memiliki derajat kehalalan yang tidak sama. Sebagai contoh, dulu sewaktu di negeri orang saya pernah diajak sama teman ke kios daging di luar kota. Di sana dagingnya halal katanya. Saya tanya, lha di supermarket sini apa nggak halal. Dia jawab, halal juga berdasarkan dalil (5:5), tetapi yang di sana sangat halal. Nanti kalau di sana habis kita baru beli di sini, katanya. Jadi, kalau kita ingin Fuzzy-nya lebih halus/banyak lagi masih bisa.
2. Halal karena asal-usulnya (cara memperoleh).
Makanan halal selain harus halal dzat-nya, juga harus diperoleh dari rejeki yang halal. Walaupun suatu makanan halal menurut dzat-nya, tetapi menjadi haram jika didapat dari harta yang haram.
Sepanjang yang saya ketahui(boleh ditambahkan), harta menjadi haram jika didapatkan dengan merugikan pihak/orang lain, baik pihak yang dirugikan tersebut mengetahui ataupun tidak. Orang lain di sini bisa person ataupun umum/banyak. Ada bermacam-macam hal yang dapat merugikan orang lain, seperti mencuri, merampok, menipu, judi, dan lain sebagainya.
Contoh kecil: mencuri. Beberapa waktu yang lalu sarden saya diembat sama roomate (teman sekamar). Memang dalam bulan puasa ini saya beli sarden ekstra banyak. Tidak ada warung (halal) buka di waktu Maghrib di dekat sini, apalagi waktu sahur. Pada waktu itu saya hanya nggrundhel saja karena walaupun roomate, tetapi hanya sekali-sekali saja ketemu. Untunglah pass ketemu, dia bilang dan mengganti, dan saya kemudian mengikhlaskan. Selama saya belum ikhlas, saya kira sarden itu haram buat dia, walaupun di situ tertulis halal. Masih banyak contoh lain: ngembat mangga tetangga, dll.
Merugikan orang banyak, jelas rejeki yang diperoleh pun menjadi haram. Korupsi, suap adalah contoh besar yang melibatkan orang besar. Contoh lain: Kalau ada orang jualan (PKL) memakai sarana jalan umum, kemudian orang yang lewat situ merasa terganggu/dirugikan, maka rejeki yang dia peroleh pun menjadi tidak halal. Bisa dihitung pakai Fuzzy, jika orang yg lewat situ 75% terganggu, maka rejeki yang dihasilkan 75% haram, misalnya. Kalau melihat ini, alangkah banyaknya orang-orang sekitar kita yang memakan harta haram. Mencuri listrik, mencuri kabel, dlsb.
Saya jadi teringat ajaran berikut (saya lupa ini hadits atau atsar):
Ketika seorang hamba dihisab tentang umur, badan, dan ilmunya maka hanya ditanya dengan satu pertanyaan yakni untuk apa, namun tentang harta maka dia dihisab dua kali, yakni dari mana memperoleh dan ke mana membelanjakannya.
Lantas bagaimana kalau kita tidak sadar/tahu bahwa kita merugikan orang lain. Bisa saja kan. Cara mengatasi adalah dengan menyedekahkan sebagian harta kita untuk fakir miskin. Semoga dengan demikian harta yang kita punya menjadi bersih (halal) dan Allah SWT meridloi kita…amien. Ada beberapa hadits/dalil untuk ini (maaf saya tidak hapal). Zakat sudah pasti jika sudah melewati nisab, tetapi zakat berbeda dengan sedekah.
Tambahan: Pada rejeki halal-haram ini berlaku peribahasa: Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Untk itulah kita kadang-kadang harus berhati-hati memilih warung makan, atau harus memelototi ingridients suatu makanan kaleng.
3. Makanan baik menurut fisik-nya.
Menurut hemat kami, banyak kriteria untuk makanan yang baik menurut fisik. Semuanya berkaitan dengan lahiriahnya. Saya setuju dengan pendapat bahwa makanan yang baik adalah pada intinya tidak menimbulkan efek buruk bagi orang yang memakannya, bahkan membawa efek yang baik (seperti menyehatkan badan).
Kalau kita ungkap satu persatu mungkin akan banyak sekali kriteria,
a. Bergizi, semakin bergizi semakin baik. Ahli gizi/nutrisi yang dapat menerangkan ini secara detail.
b. Tidak mengandung dzat berbahaya, spt pewarna, pengawet (yg berbahaya seperti formalin, borax), dsb. Waspadalah kalau jajan sembarangan. Bakso-nya sih enak, tapi kalau ada formalinnya (itu lho.. bahan kimia untuk mengawetkan mayat) resiko ditanggung sendiri.
c. Bersih, semakin bersih semakin baik. Kadang kalau jajan sembarangan kebersihan tidak dijaga. Coba saja lihat dapurnya.
d. Enaaak, Semakin enak semakin …hhmm. Siapa sih yang nggak suka makan enak. Mungkin suatu saat nanti beredar pil gizi, pil yang mengandung gizi yang lengkap sehingga kita tidak perlu repot2 makan (Seperti konon pil ini dimakan oleh para astronout). Menurut saya pil seperti itu bukan termasuk makanan yang baik, karena … tidak enak.
e. Secukupnya. Tidak berlebih-lebihan di dalam makan dan minum. Makan yang sampai kekenyangan justru menjadi tidak baik. Kebutuhan gizi tubuh kita sudah ada porsinya, sehingga kelebihannya pasti dibuang lagi. Selain itu malahmenyebabkan kita tidak sehat. Kalau efek langsung yang pasti… sakit perut. Rasul SAW dalam salah satu haditsnya, bahwa beliau tidak makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.
f. DLSB.
4. Makanan yang baik menurut sebab-musababnya.
Mungkin tidak hanya menurut sebab-musabab atau asal-usul, tetapi keseluruhan proses. Lebih tepatnya adalah makanan yang baik secara batiniah, atau istilahnya berkah.
Makanan yang baik/berkah cukup sulit menerangkannya. Hanya Allah SWT sajalah yang menentukan derajat keberkahan suatu makanan/rejeki. Ada banyak hal yang menyebabkan makanan menjadi berkah atau tidak berkah. Berkahnya suatu makanan dapat kita tandai. Jika kita merasa lebih tentram, lebih dekat kepada Allah SWT, orang lain juga merasa senang, maka itu merupakan tanda-tanda bahwa makanan kita berkah.
Seseorang yang makan tetapi prosesnya mengganggu orang lain dapat menyebabkan makanan yang dimakan tidak baik, walaupun secara lahiriah bergizi dan enak. Contoh: Mungkin kita pernah punya teman kost pelupa atau bahkan ndableg. Kalau mau makan suka pinjam panci, rice cooker, dll, tetapi malas mencuci. Dia makan enak, temannya yang disuruh cuci-cuci. Memang makanannya halal bersih, tetapi karena disertai dengan omelan temannya maka makanannya menjadi tidak baik/berkah. Memang tidak sampai merugikan (mencuri, menipu, dll), hanya mengganggu saja. Ini sudah cukup untuk mengurangi derajat baik suatu rejeki/makanan.
Contoh lain: Sekarang banyak sekali pengamen di jalan. Mereka mendapat rejeki dengan cara minta-minta/mengamen. Kadang pengendara jalan merasa terganggu dengan adanya pengamen itu. Hal ini mengurangi derajat baik-nya.
Saya kira untuk supaya suatu makanan menjadi baik/berkah, cara terbaik adalah dengan mencontoh sunnah Nabi SAW tentang makanan dan cara makan beliau. Ada banyak sunnah Rasul SAW, di antaranya adalah:
* Rasul SAW sama sekali tidak pernah mencela makanan. Apabila suka sesuatu ia makan dan jika tidak, maka ia tinggalkan.
* Hendaknya memulai makanan dan minuman dengan membaca Bismillah dan diakhiri dengan Alhamdulillah.
* Memberikan sebagian makanan kepada tetangga terdekat.
* Dan masih banyak lagi.
Makanan yang halal jika kita makan menyebabkan kita cenderung untuk berbuat baik, entheng beribadah, dan doanya dikabulkan Allah SWT. Makanan yang baik menyebabkan kita sehat, bersemangat. Jika anak-anak kita makan yang halal lagi baik, mereka akan menjadi anak yang patuh, bertakwa, cerdas, tidak menyusahkan orang tua, dsb.
Jika pada saat puasa, makanan yang halal dan baik pun dilarang untuk dimakan dari fajar sampai menjelang maghrib, semoga di saat hari-hari biasa, kita hanya memakan makanan yang baik dan halal saja. Amien..amien..amien.
wallahu alam.

Macam-Macam Shalat Sunnah

Shalat sunnah itu ada dua macam:
1. Shalat sunnah yang disunnahkan dilakukan secara berjamaah
2. Shalat sunnah yang tidak disunnahkan dilakukan secara berjamaah
A. Shalat sunnah yang disunnahkan dilakukan secara berjamaah
1. Shalat Idul Fitri
2. Shalat Idul Adha
Ibnu Abbas Ra. berkata: “Aku shalat Idul Fithri bersama Rasulullah SAW dan Abu bakar dan Umar, beliau semua melakukan shalat tersebut sebelum khutbah.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Dilakukan 2 raka’at. Pada rakaat pertama melakukan tujuh kali takbir (di luar Takbiratul Ihram) sebelum membaca Al-Fatihah, dan pada raka’at kedua melakukan lima kali takbir sebelum membaca Al-Fatihah.
3. Shalat Kusuf (Gerhana Matahari)
4. Shalat Khusuf (Gerhana Bulan)
Ibrahim (putra Nabi SAW) meninggal dunia bersamaan dengan terjadinya gerhana matahari. Beliau SAW bersabda:
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda (kebesaran) Allah SWT. Tidak terjadi gerhana karena kematian seseorang, tidak juga karena kehidupan (kelahiran) seseorang. Apabila kalian mengalaminya (gerhana), maka shalatlah dan berdoalah, sehingga (gerhana itu) berakhir.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Dari Abdullah ibnu Amr, bahwasannya Nabi SAW memerintahkan seseorang untuk memanggil dengan panggilan “ashsholaatu jaami’ah” (shalat didirikan dengan berjamaah). (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Dilakukan dua rakaat, membaca Al-Fatihah dan surah dua kali setiap raka’at, dan melakukan ruku’ dua kali setiap raka’at.
5. Shalat Istisqo’
Dari Ibnu Abbas Ra., bahwasannya Nabi SAW shalat istisqo’ dua raka’at, seperti shalat ‘Id. (HR Imam Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)
Tata caranya seperti shalat ‘Id.
6. Shalat Tarawih (sudah dibahas)
Dari ‘Aisyah Rda., bahwasannya Nabi Muhammad SAW shalat di masjid pada suatu malam. Maka orang-orang kemudian mengikuti shalat beliau. Nabi shalat (lagi di masjid) pada hari berikutnya, jamaah yang mengikuti beliau bertambah banyak. Pada malam ketiga dan keempat, mereka berkumpul (menunggu Rasulullah), namun Rasulullah SAW tidak keluar ke masjid. Pada paginya Nabi SAW bersabda: “Aku mengetahui apa yang kalian kerjakan tadi malam, namun aku tidak keluar karena sesungguhnya aku khawatir bahwa hal (shalat) itu akan difardlukan kepada kalian.” ‘Aisyah Rda. berkata: “Semua itu terjadi dalam bulan Ramadhan.” (HR Imam Muslim)
Jumlah raka’atnya adalah 20 dengan 10 kali salam, sesuai dengan kesepakatan shahabat mengenai jumlah raka’at dan tata cara shalatnya.
7. Shalat Witir yang mengiringi Shalat Tarawih
Adapun shalat witir di luar Ramadhan, maka tidak disunnahkan berjamaah, karena Rasulullah SAW tidak pernah melakukannya.
B. Shalat sunnah yang tidak disunnahkan berjamaah
1. Shalat Rawatib (Shalat yang mengiringi Shalat Fardlu), terdiri dari:
a. 2 raka’at sebelum shubuh
b. 4 raka’at sebelum Dzuhur (atau Jum’at)
c. 4 raka’at sesudah Dzuhur (atau Jum’at)
d. 4 raka’at sebelum Ashar
e. 2 raka’at sebelum Maghrib
f. 2 raka’at sesudah Maghrib
g. 2 raka’at sebelum Isya’
h. 2 raka’at sesudah Isya’
Dari 22 raka’at rawatib tersebut, terdapat 10 raka’at yang sunnah muakkad (karena tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah SAW), berdasarkan hadits:
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW senantiasa menjaga (melakukan) 10 rakaat (rawatib), yaitu: 2 raka’at sebelum Dzuhur dan 2 raka’at sesudahnya, 2 raka’at sesudah Maghrib di rumah beliau, 2 raka’at sesudah Isya’ di rumah beliau, dan 2 raka’at sebelum Shubuh … (HR Imam Bukhari dan Muslim).
Adapun 12 rakaat yang lain termasuk sunnah ghairu muakkad, berdasarkan hadits-hadits berikut:
a. Dari Ummu Habibah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa senantiasa melakukan shalat 4 raka’at sebelum Dzuhur dan 4 raka’at sesudahnya, maka Allah mengharamkan baginya api neraka.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
2 raka’at sebelum Dzuhur dan 2 raka’at sesudahnya ada yang sunnah muakkad dan ada yang ghairu muakkad.
b. Nabi SAW bersabda:
“Allah mengasihi orang yang melakukan shalat empat raka’at sebelum (shalat) Ashar.” (HR Imam Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Huzaimah)
Shalat sunnah sebelum Ashar boleh juga dilakukan dua raka’at berdasarkan Sabda Nabi SAW:
“Di antara dua adzan (adzan dan iqamah) terdapat shalat.” (HR Imam Bazzar)
c. Anas Ra berkata:
“Di masa Rasulullah SAW kami shalat dua raka’at setelah terbenamnya matahari sebelum shalat Maghrib…” (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Nabi SAW bersabda:
“Shalatlah kalian sebelum (shalat) Maghrib, dua raka’at.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)
d. Nabi SAW bersabda:
“Di antara dua adzan (adzan dan iqamah) terdapat shalat.” (HR Imam Bazzar)
Hadits ini menjadi dasar untuk seluruh shalat sunnah 2 raka’at qobliyah (sebelum shalat fardhu), termasuk 2 raka’at sebelum Isya’.
2. Shalat Tahajjud (Qiyamullail)
Al-Qur’an surah Al-Israa’ ayat 79, As-Sajdah ayat 16 – 17, dan Al-Furqaan ayat 64. Dilakukan dua raka’at-dua raka’at dengan jumlah raka’at tidak dibatasi.
Dari Ibnu Umar Ra. bahwa Nabi SAW bersabda: “Shalat malam itu dua (raka’at)-dua (raka’at), apabila kamu mengira bahwa waktu Shubuh sudah menjelang, maka witirlah dengan satu raka’at.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)
3. Shalat Witir di luar Ramadhan
Minimal satu raka’at dan maksimal 11 raka’at. Lebih utama dilakukan 2 raka’at-2 raka’at, kemudian satu raka’at salam. Boleh juga dilakukan seluruh raka’at sekaligus dengan satu kali Tasyahud dan salam.
Dari A’isyah Rda. Bahwasannya Rasulullah SAW shalat malam 13 raka’at, dengan witir 5 raka’at di mana beliau Tasyahud (hanya) di raka’at terakhir dan salam. (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Beliau juga pernah berwitir dengan tujuh dan lima raka’at yang tidak dipisah dengan salam atau pun pembicaraan. (HR Imam Muslim)
4. Shalat Dhuha
Dari A’isyah Rda., adalah Nabi SAW shalat Dhuha 4 raka’at, tidak dipisah keduanya (tiap shalat 2 raka’at) dengan pembicaraan.” (HR Abu Ya’la)
Dari Abu Hurairah Ra., bahwasannya Nabi pernah Shalat Dhuha dengan dua raka’at (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Dari Ummu Hani, bahwasannya Nabi SAW masuk rumahnya (Ummu Hani) pada hari Fathu Makkah (dikuasainya Mekkah oleh Muslimin), beliau shalat 12 raka’at, maka kata Ummu Hani: “Aku tidak pernah melihat shalat yang lebih ringan daripada shalat (12 raka’at) itu, namun Nabi tetap menyempurnakan ruku’ dan sujud beliau.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)
5. Shalat Tahiyyatul Masjid
Dari Abu Qatadah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian masuk masjid, janganlah duduk sehingga shalat dua raka’at.” (HR Jama’ah Ahli Hadits)
6. Shalat Taubat
Nabi SAW bersabda: “Tidaklah seorang hamba yang berdosa, kemudian ia bangun berwudhu kemudian shalat dua raka’at dan memohon ampunan kepada Allah, kecuali ia akan diampuni.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan lain-lain)
7. Shalat Tasbih
Yaitu shalat empat raka’at di mana di setiap raka’atnya setelah membaca Al-Fatihah dan Surah, orang yang shalat membaca: Subhanallah walhamdulillah wa laa ilaaha illallah wallaahu akbar sebanyak 15 kali, dan setiap ruku’, i’tidal, dua sujud, duduk di antara dua sujud, duduk istirahah (sebelum berdiri dari raka’at pertama), dan duduk tasyahud (sebelum membaca bacaan tasyahud) membaca sebanyak 10 kali (Total 75 kali setiap raka’at). (HR Abu Dawud dan Ibnu Huzaimah)
8. Shalat Istikharah
Dari Jabir bin Abdillah berkata: “Adalah Rasulullah SAW mengajari kami Istikharah dalam segala hal … beliau SAW bersabda: ‘apabila salah seorang dari kalian berhasrat pada sesuatu, maka shalatlah dua rakaat di luar shalat fardhu …dan menyebutkan perlunya’ …” (HR Jama’ah Ahli Hadits kecuali Imam Muslim)
9. Shalat Hajat
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa mempunyai hajat kepada Allah atau kepada seseorang, maka wudhulah dan baguskan wudhu tersebut, kemudian shalatlah dua raka’at, setelah itu pujilah Allah, bacalah shalawat, atas Nabi SAW, dan berdoa …” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)
10. Shalat 2 rakaat di masjid sebelum pulang ke rumah
Dari Ka’ab bin Malik: “Adalah Nabi SAW apabila pulang dari bepergian, beliau menuju masjid dan shalat dulu dua raka’at.” (HR Bukhari dan Muslim)
11. Shalat Awwabiin
Al-Qur’an surah Al-Israa’ ayat 25
Dari Ammar bin Yasir bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa shalat setelah shalat Maghrib enam raka’at, maka diampuni dosa-dosanya, walaupun sebanyak buih lautan.” (HR Imam Thabrani)
Ibnu Majah, Ibnu Huzaimah, dan Tirmidzi meriwayatkan hadits serupa dari Abu Hurairah Ra. Nabi SAW bersabda: “Barang siapa shalat enam raka’at antara Maghrib dan Isya’, maka Allah mencatat baginya ibadah 12 raka’at.” (HR Imam Tirmidzi)
12. Shalat Sunnah Wudhu’
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa berwudhu, ia menyempurnakan wudhunya, kemudian shalat dua raka’at, maka diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)
13. Shalat Sunnah Mutlaq
Nabi SAW berpesan kepada Abu Dzar al-Ghiffari Ra.: “Shalat itu sebaik-baik perbuatan, baik sedikit maupun banyak.” (HR Ibnu Majah)
Dari Abdullah bin Umar Ra.: “Nabi SAW bertanya: ‘Apakah kamu berpuasa sepanjang siang?’ Aku menjawab: ’Ya.’ Beliau bertanya lagi: ‘Dan kamu shalat sepanjang malam?’ Aku menjawab: ’Ya.’ Beliau bersabda: ’Tetapi aku puasa dan berbuka, aku shalat tapi juga tidur, aku juga menikah, barang siapa tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku’.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits terakhir ini menunjukkan bahwa shalat sunnah bisa dilakukan dengan jumlah raka’at yang tidak dibatasi, namun makruh dilakukan sepanjang malam, karena Nabi sendiri tidak menganjurkannnya demikian. Ada waktu untuk istirahat dan untuk istri/suami.
.
Wallahu a’lam